“Kau ingin pulang?” tanya Eunra. Aku hanya mengangguk
lemas. Ingin sekali rasanya cepat – cepat tiba di rumah dan berendam dengan air
hangat karena sekolahku hari ini benar – benar ingin membunuhku. Bagaimana
tidak, latihan vocal kemudian dilanjutkan latihan koreografi berjam – jam dan
kegiatan itu mampu membuat tubuhku terhuyung – huyung.
“Aish, jinjaa. Apa – apaan ini? Bahkan bumi pun serasa
ikut menyiksaku juga” teriakku ketika melihat salju turun untuk yang pertama
kalinya.
“Kau yeoja pabo. Bukankah kau pasti mengerti kalau
beberapa hari ini akan turun salju? Apa yang sedang kau pikirkan dengan tak
membawa jaket? Eoh?” teriak Eunra yang tak kalah nyaring sambil menjitak
kepalaku.
Belum sempat aku membalas perbuatan Eunra, “Pakailah ini.
Salju akan semakin turun” ujar seseorang sambil menautkan jaketnya di pundakku.
“Josonghamnida, siapa kau?” tanyaku pada namja yang sudah
berbalik terlebih dahulu sebelum aku berhasil menyapanya. Tak ada sahutan darinya.
Kulihat tubuhnya tak terbalut jaket dan hanya kaos berlengan panjang berwarna
putih yang melekat di tubuhnya. Dan akhirnya dia hilang di belokan sana. “Nuguseyo?”
tanyaku pada Eunra. “Molla. Sepertinya aku juga tak pernah melihat namja itu”
jawabnya dengan raut kebingungan.
Aku melajukan mobilku sedang karena aku juga masih
memikirkan siapa namja yang berbaik hati meminjamkan jaketnya untukku. ‘Lalu, bagaimana caraku untuk mengembalikan
ini?’ tanyaku dalam hati. Hidungku mencium aroma pinus yang tersebar di
jaket itu dan aroma itu mampu membuatku kembali rileks. Kuparkirkan mobil di
garasi rumahku dan terlihat disana juga terparkir mobil appa. Seulas senyum
terpatri di bibirku.
“Appa, eomma, dimana kalian?” teriakku di dalam rumah
besar ini.
“Eomma disini chagi” jawabnya dari arah dapur. Kusegera
berlari ke dapur dan benar, eomma sedang membuat pancake kesukaanku.
“Bogoshipo eomma” ujarku sambil memeluk tubuh eomma dari
belakang. Eomma berbalik, “Eomma juga sangat merindukanmu”.
“Bagaimana kalian tak menghubungiku ketika berada
disini?” tanyaku.
“Eomma pikir ingin memberikan sedikit kejutan lagipula
kau juga masih sekolah, tak mungkin eomma menghubungimu”.
“Appa eodiya?” tanyaku sambil menarik tangan eomma dan
tanganku yang lain membawa sepiring pancake lezat buatan eomma.
“Appamu sepertinya sedang ada sedikit urusan”.
“Ck, baru juga tiba disini dan sudah disibukkan dengan pekerjaan”
decakku sedikit kesal.
“Kau masih tetap dengan kebiasaanmu ini. Ganti pakaian
dulu, baru makan. Palli” ujar eomma. “Arraseo” ujarku sambil beranjak dari
tempat dudukku.
Kugantungkan jaket itu di sebelah meja nakasku dan seakan
tak sadar dengan bibirku yang sudah mengembangkan senyuman sewaktu mengingat
kejadian sepulang sekolah tadi. Tak ingin membuat eomma menunggu terlalu lama,
aku segera kembali ke ruang makan. Setibanya disana, terlihat appaku tengah
memakan sepotong pancake buatan eommaku.
“Oh, begitukah appa sekarang? Makan sendiri tanpa
menungguku? Eoh?” ujarku.
“Song Sang In, appa sudah lapar sehingga makan terlebih dahulu
tanpa menunggumu. Duduklah, appa punya beberapa kejutan untukmu”.
“Tak perlu menyogokku dengan kejutan – kejutanmu Tuan
Song Goo Kyeong” ujarku sambil tersenyum menggoda. “Ige mwoya?” tanyaku sesaat
menerima beberapa bingkisan dan sebuah amplop. Aku tak menghiraukan bingkisan –
bingkisan itu, mataku hanya tertarik pada amplop berwarna putih itu. Kubuka dan
kubaca sebelum aku berteriak kegirangan. “Invitation for Song Sang In, surfer
from South Korea to join us on Kuta Beach, Bali at 5th May 2014. For more
information you can contact us. Thank you for your attention and participation”.
“Ige mwoya?” tanya eomma, ekspresi eomma heran ketika
melihatku lompat – lompat kegirangan setelah membaca selebaran itu. “Kau masih
menekuni olahraga ini?” tanya eomma sesaat setelah membaca kertas yang
kuberikan pada eomma.
Anggukku antusias beberapa kali karena mulutku tengah
penuh dengan pancake. “Tentu saja, aku sangat mencintai surfing jauh sebelum
aku masuk ke sekolah seni” jawabku buru – buru.
“Tapi Sang In, olahraga ini terlalu berbahaya untuk yeoja
sepertimu” ungka eommaku. Sikap khawatir berlebihan eomma sedikit kambuh.
“Tenang saja, Kai oppa pasti akan selalu menjagaku. Lagipula terlihat keren
bukan ketika seorang yeoja bermain ombak di atas papan selancarnya” jawabku.
“Biarlah istriku. Biarkan dia memilih jalan yang membuatnya bahagia. Kita hanya
harus mendukungnya” akhirnya appaku angkat bicara setelah sekian lama
mendengarkan perbicanganku dengan eomma. “Eomma jangan khawatir. Aku akan baik
– baik saja” kataku sambil menggenggam tangan eomma. “Baiklah, aku akan bertemu
dengan Kai oppa sekarang untuk memberitahukan kabar bahagia ini” lanjutku. “Tak
bisakah esok hari saja kau bertemu dengannya? Salju sudah semakin turun” teriak
appa yang tentu saja tak kupedulikan.
@
Heukseok-dong
Apartement, 17.00 KST
Aku memencet bel kamar apartemen ini beberapa kali namun
sepertinya di dalam tak ada penghuninya hingga seseorang bertubuh proporsional
dan berkulit sedikit kecoklatan yang hanya memakai kaos putih serta celana
pendek selutut itu membuka pintu kamarnya. “Sang In-ah, apa yang kau lakukan
disini? Kau mengganggu waktu tidurku. Bukankah sedang turun salju? Masuklah”
ajaknya sambil menarik tanganku.
“Sudah terlihat dari wajahmu kalau kau sedang tidur”
jawabku. “Oppa, ada kabar gembira yang ingin kubagi denganmu” lanjutku antusias
sambil duduk di atas kasurnya.
“Mwo? Kabar gembira apa? Semoga itu benar – benar
menggembirakan karena kau rela jauh – jauh kemari menerjang turunnya salju
hanya untuk memberitahuku kabar ini. Dan jelas kau sedang kedinginan, terlihat
dari hembusan nafasmu ini” ujarnya sambil menghimpit tubuhku serta menyentuh
bibirku yang gemetaran karena kedinginan. “Oppa, apa yang kau lakukan? Ini
terlalu dekat” jawabku sambil mendorong tubuhnya untuk sedikit menjauh. Dia
tertawa kencang sambil berjalan ke arah dapur, “Ceritanya nanti saja. Aku akan
membuatkan cokelat panas dulu untukmu”.
Beberapa saat kemudian dia kembali dengan segelas cokelat
panas untukku. “Kau tak minum?” tanyaku setelah menyeruput minuman kesukaanku
buatannya. “Aku minum dari sini saja” katanya seraya mengambil gelas yang
berada di genggamanku. Kami sudah terbiasa minum dalam gelas yang sama. “Kabar
apa?” tanyanya singkat.
“Baca ini” kataku sambil menyerahkan kertas yang
kukeluarkan dari dalam tas kecilku. “Apa ini?” tanyanya heran. “Ck, sudah baca
saja. Jangan banyak tanya” ujarku.
Aku tersenyum lebar saat kulihat bibirnya perlahan mulai
menyunggingkan senyum indahnya. “Kau diundang? Kau benar – benar keren” katanya
sambil mengacak rambutku kasar.
“Yak Kim Jong In, berhentilah mengacak – acak rambutku.
Kau tahu bukan kalau aku sangat tidak suka ada orang yang mengacak – acak
rambutku” jawabku kesal.
“Hadap sana” katanya sambil menghadapkan tubuhku
membelakanginya. Belum sempat untukku bertanya, ternyata dia sudah menyisir
rambut panjangku terlebih dahulu. “Oppa, kita masih punya banyak waktu untuk
berlatih. Dan aku minta kau harus menemaniku disana dan aku tak menerima
penolakan” kataku.
“Kau gadis gila, kau ingin berlatih saat turun salju
seperti ini? Setidaknya tunggulah sampai bulan Maret” teriaknya dan tangannya
masih menyisir rambutku dengan lembut.
“Arraseo, berhentilah berteriak dan berhenti menyisir
rambutku” ujarku sambil berbalik kembali menghadapnya.
“Aku akan membuatkan makanan untukmu. Sudah saatnya kau
untuk makan” ujarnya sambil melirik jam yang terpampang di meja samping tempat
tidurnya. ‘Kau benar – benar oppa
terbaikku. Bahkan waktu makanku pun kau sangat hafal’ batinku.
Aroma masakan yang lezatpun tercium oleh hidungku dari
arah dapur. Kalau saja aku bisa membantunya menyiapkan makanan, hanya saja dia
pasti akan kembali berteriak nyaring ketika aku membawa langkahku menuju dapur
dan dia akan menarikku menuju meja makan yang hanya muat untuk 2 orang saja.
Dia tak akan membiarkanku membantunya memasak. Dan beberapa jenis masakanpun
terhidang di atas meja makan. Aku mengambil beberapa masakan yang berada di
depanku. “Oppa, kenapa kau sangat baik padaku?” tanyaku.
‘deg..’ dapat kulihat dengan jelas ekspresi wajah oppa dan
dia menormalkan ekspresinya kembali. “Apa yang kau bicarakan? Dari dulu kau
juga mengerti kalau aku sudah menganggapmu sebagai yeo-dongsaengku sendiri”
ujarnya. “Baiklah, aku percaya padamu oppa”.
“Sepertinya kau tak pernah memiliki jaket seperti itu”
ujarnya setelah melirik jaket yang kuletakkan di atas kasurnya.
“Ah, itu memang bukan milikku. Itu milik temanku”.
“Milik seorang namja?” tanyanya menyelidiki.
‘Bagaimana
dia mengetahui hal itu?’
tanya batinku. “Karena tak mungkin seorang yeoja memiliki jaket seperti itu”
lanjutnya seolah – olah dia tahu akan apa yang kubicarakan dalam hati.
Aku bingung akan menjawab apa, “Sudahlah tak perlu
dijawab”.
“Aku akan mengantarmu pulang” katanya sambil membuka
lemari pakaiannya dan mengambil jaket berwarna hitam, jaket itu kesukaanku.
“Anio, tak perlu oppa. Kau kembalilah tidur dan aku
pulang sendiri. Gomawo oppa” teriakku sambil berlari ke arah pintu.
Aku sudah menutup pintu rapat – rapat dan terdengar dari
dalam dia tengah berteriak memanggil – manggil namaku tak jelas. Aku berjalan
menyusuri lobby nya dan ponselku tengah berdering, kurogoh jaket namja itu.
“Yak yak kau, bisa – bisanya kau melarikan diri” teriak
namja yang baru saja kutinggalkan. Dia memang tak bisa bicara tanpa berteriak
seperti itu.
“Anio oppa. Tak perlu, aku bisa pulang sendiri.
Arraseo?”.
“Arra. Hubungi aku setelah kau tiba di rumahmu. Berhati –
hatilah, jalanan licin” ujarnya setelah menghembuskan nafasnya kesal.
Keesokan paginya..
Ponselku berdering berkali – kali. Kurogoh di bawah
selimutku dan kudapatkan benda kotak yang berisik itu.
“Annyeong..” sahutku dengan masih memejamkan mata.
“Oppaaa...” lanjutku.
“Aku khawatir dengan keadaanmu, hampir 3 jam aku menunggu
teleponmu dan aku sudah bergegas untuk menyusulmu tapi aku lega saat aku
menghubungi Lee Hwan ahjushi dan mengatakan kalau kau sudah kembali ke rumah 2
jam yang lalu” ungkapnya. Dan dia tak bohong, terdengar dari suaranya kalau dia
masih khawatir dengan keadaanku.
“Oppa, mianhnae. Jeongmal mianhnae karena aku tak
menghubungimu. Aku terlewat lelah hingga lupa untuk menghubungimu. Mianhnae
oppa” ujarku mengiba padanya.
“Arraseo, gwenchana Sang In-ah. Kau tak sekolah?”.
Sekolah? 7 huruf itu menyadarkanku dan membuat keadaanku
sudah kembali dari alam tidurku. “Baiklah, aku akan menjemputmu. Segera turun
dari kasurmu dan pergi ke kamar mandi” katanya sambil tertawa ringan. Aku
segera mematikan teleponnya tanpa berkata apa – apa sambil menggerutuki diriku
sendiri karena bangun kesiangan.
“Eomma, kenapa eomma tak membangunkanku?” rengekku pada
perempuan yang sangat kucintai itu.
“Eomma sudah membangunkanmu. Dan kau bilang, kau libur
hari ini maka dari itu eomma tak membangunkanmu lagi”.
“Ah, aku bisa terlambat eomma. Mianhnae eomma, aku
berangkat dulu” ujarku sambil berlari kecil menuju pintu rumahku.
Seorang namja yang bersandar pada body mobil Bugatti
Veyron warna hitamnya. “Aku sudah berkata padamu bukan kalau aku yang
mengantarmu pulang? Kau pasti akan kelelahan. Kau bukan wonder woman yang bisa
menyetir selama itu” ejek Kai oppa padaku.
“Berhentilah mengejekku. Fokuslah pada benda bulat yang
berada di genggaman tanganmu itu saja oppa”.
“Ini makanlah, kau pasti belum sarapan” katanya sambil
menyerahkan kotak makanan, roti dengan isi daging sapi ini sebagai sarapanku.
“You are really my hero” kataku sambil merangkul tangan kirinya yang terbebas
dari stirnya.
“Gomawo oppa, nan jeongmal gomawo karena lagi – lagi hari
ini kau penyelamat hidupku” ujarku sambil mengecup pipi kanan oppaku ini.
Kulihat wajahnya bersemu merah, “Yak jangan berpikiran macam – macam. Aku
yeo-dongsaengmu dan menciummu hanya sebagai ucapan terimakasih” ancamku
padanya.
“Arraseo, masuklah. Kau bisa sakit kalau berlama – lama
terkena salju” bibirnya menyunggingkan sebuah senyuman dan tangannya merapatkan
penutup jaket itu ke kepalaku. Sedangkan kedua matanya menatap pada sebuah
titik yang terlihat seorang namja yang menatap aktivitas kedua orang itu dengan
tatapan tidak senang.
“Song Sang In, kau diantar namjachingumu?” tanya seorang
teman padaku.
“Ah anio. Dia oppaku”.
“Kai oppa? Kenapa kau tak mengatakannya padaku? Kalau aku
tahu, aku bisa menghampiri kalian sebentar dan bertemu dengan malaikat yang dikirim
Tuhan untukku itu” teriak Eunra di sampingku.
“Jangan bermimpi untuk mendekati namja itu Ra-ya.
Sepertinya dia sedikit anti terhadap perempuan. Entahlah sejak yeojachingunya
meninggal 4 tahun yang lalu, aku tak pernah melihatnya menggandeng perempuan
lain lagi” ungkapku.
“Dia sedang menungguku Sang In-ssi” ujarnya penuh percaya
diri. Aku hanya menggeleng tak percaya kepada sahabatku itu.
“Ra-ya, bagaimana aku mengembalikan jaket ini kalau kita
saja tak tahu siapa yang meminjamkannya jaketnya padaku?”.
“Aku juga tak tahu. Apa yang harus kita lakukan?”
tanyanya sambil memegang kepalanya.
Siapakah namja yang meminjamkan jaketnya kepada Sang In
dan rela menembus salju tanpa jaket itu? Dan siapa orang yang melihat ke arah
Sang In dan Kai? Apakah orang yang sama?
0 komentar:
Posting Komentar