Part 1
Title
: Eiffel Tower in Seoul
Author :
Song Sang In
FB
: Vini Happy Ajeng
Cast
: Song Sang In, Shin Min Hwa, Yoon Hana
Length
:
Series
Gendre
:
Romance, Little Angst
Rated : PG-17
Cerita ini hanya karangan belaka dan ASLI ciptaan author. Kalo ada kesamaan tempat dan karakter itu
semua tidak sengaja.
Untuk semuanya mohon jadi pembaca yang baik
yang pastinya harus meninggalkan jejak terlebih dahulu. Author ga bosen – bosennya buat ngingetin tentang ini.
SIDERnya banyak ini, tapi yang komen bisa diitung pake jari jadi JEBAAAALLL. Authornya
jinak kok jadi ga bakal
gigit kalo komenannya gimana2 karena komenan kalian juga sebagai penyemangat
author.
Hargai kerja keras author yang bikin cerita
ini sampe dibantuin begadang
jadi NO
PLAGIAT. Happy
reading ^^
“Aku mencintai
keluargaku melebihi aku mencintai diriku sendiri. Setidaknya itu yang membuatku
tenang” –Song Sang
In-
Aku tak pernah melewati satu
pagi pun dengan bersantai – santai. Hidup di Korea yang begitu serba gemerlap,
tak membuat aku ingin menikmati dunia ini. Aku terlahir dari keluarga yang bisa
dibilang menengah ke bawah, ayahku telah meninggal sejak aku lahir, ibuku
seorang ibu rumah tangga. Aku juga mempunyai kakak, Song Sang Won yang sangat
aku sayangi. Aku menderita bisu sejak umur 4 tahun karena demam yang sangat
tinggi. Sekarang aku duduk di bangku SMA kelas 2. Di samping bersekolah, aku
juga bekerja paruh waktu untuk membantu ibuku. Sang Won oppa kuliah di luar negeri.
“Eomma, ayo kita sarapan. Aku sudah telat untuk berangkat sekolah ” kataku dengan bahasa isyarat.
“Ne, eomma sudah siapkan semua” jawab
eomma sambil tersenyum.
Setelah sarapan, aku menyiapkan
bekal untuk makan siangku, makan siang untuk istirahat sekolah nanti.
“Eomma, kajja kita berangkat” kataku.
“Kajja, kau hati – hati di jalan
ya Sang In” ujar eomma.
Eomma ku, ibu yang sangat kucintai di dunia ini melebihi aku mencintai diriku sendiri. Eomma bekerja sebagai pembantu rumah tangga di sebuah rumah di kawasan elit di Seoul. Ibuku bekerja sebagai pembantu rumah tangga sudah 4 tahun. Baru kali ini ibu betah bekerja sebagai pembantu rumah tangga, karena sebelumnya tak sekalipun ibu betah kerja hingga selama ini.
@Daeil
Foreign Language High School Yard, Seoul, 06.50 KST
“Song Sang In"
teriak Jiwon memekkan telinga dan membuat keributan di pagi hari ini.
“Bisa tidak kau tak teriak –
teriak di telingaku?” bentakku. Ya aku tahu, aku membentak maupun tidak, tak
ada bedanya.
“Mianhnae, bogoshipo chagi. Kajja, upacara akan
dimulai” jawab Jiwon tulus.
Sepulang sekolah, aku bekerja paruh waktu. Siang hingga sore aku bekerja di sebuah swalayan sebagai kasir. Sebagai seorang kasir tentu aku merasakan kesulitan dengan kecacatanku ini. Untunglah, manajer swalayan ini sangat baik padaku sehingga aku dipekerjakan di tokonya karena kau pasti tahu, tidak semua tempat kerja menerima gadis bisu sepertiku. Malam hari, aku bekerja sebagai pelayan cafe di Incheon. Sedangkan untuk melayani pembeli, biasanya aku menuliskan kata – kata di notes kecilku yang tak pernah aku tinggalkan. Jika hari libur, aku menambah kerja part timeku. Pagi hari aku bekerja mengantar susu dan koran, kemudian melanjutkan kerjaku di swalayan dan cafe. Apapun aku kerjakan asalkan aku bisa membantu eommaku mencari uang.
Upacara selesai, kami memasuki kelas. Park Young saem masuk kelas, Park Young saem guru killer itu mengajar matematika. 3 jam bersama saem yang satu itu bisa membuat para murid gemetar tak karuan. Jika ada murid yang sedang melamun atau tak mendengarkan penjelasannya, siap – siap untuk maju mengerjakan soal yang diberikan dan kalau kau tak bisa, berdiri di depan kelas selama pelajaran berlangsung merupakan hukumannya. Setelah Park Young saem memberikan penjelasan, kami disuruh mengerjakan tugas yang diberikan dan akan dikumpulkan pada saat jam belajar berakhir.
“Sang In, kau bisa mengerjakan soal nomor 4 ini? Aku bisa gila jika memikirkan bagaimana cara menjawab soal ini” gerutu Jiwon di sampingku. Aku menjawab pertanyaan Jiwon hanya dengan anggukan. “Aku lihat, jebal..” pinta Jiwon. Aku menggeserkan bukuku ke arah Jiwon, dengan segera Jiwon langsung menulis apa yang ada di dalam bukuku itu.
Pelajaran matematika yang
menurut teman – temanku sebuah pelajaran yang mematikan itu akhirnya selesai
juga. Bel menandakan istirahat terdengar nyaring. Semua murid berhamburan
keluar untuk pergi ke kantin sekolah. Jiwon langsung berlari keluar sambil
menarik tanganku. Aku yang sempat menyambar bekal makan siangku ikut berlari
kecil.
Daeil Foreign Language High School merupakan sekolah yang sangat mewah. Sekolah yang berada di pusat kota Seoul ini tempat murid kalangan menengah ke atas. Aku masuk di SMA ini karena beasiswa yang ditawarkan. Setelah melakukan beberapa tes dan ujian, akhirnya aku bisa masuk sekolah ini. Walaupun awalnya, mereka ingin menolak gadis sepertiku karena aku tak normal seperti murid yang lain. Namun dengan aku membuktikan bahwa IQ ku di atas rata – rata, mereka menyetujuinya. Tak semua dari mereka bersikap individualisme. Ya aku paham, walaupun tak sedikit dari mereka menecemoohku namun kehadiran Jiwon mampu menepis rasa gelisahku.
“Sang In, bagaimana kabar eommamu?” tanya Jiwon di sela – sela makannya.
“Ne, eommaku baik – baik saja.
Eomma masih betah bekerja di tempatnya sekarang” jawabku.
“Kakakmu bagaimana? Apa ada
kabar? Eommaku menanyakan kabar kalian” tanya sahabatku yang satu itu.
“Nado, baik – baik saja. Semoga.
Tapi entahlah oppaku tak ada kabarnya lagi. Mungkin sibuk kuliah
sehingga tak sempat memberikan kabar.
Salam pada eomma dan appamu. Sudahlah, makanlah dulu. Kau itu banyak omong
sekali” jawabku sambil menggerutu.
Sepulang sekolah, aku langsung menuju ke tempat kerjaku. Jarak dari sekolah ke swalayan tempat bekerjaku lumayan jauh, sehingga aku naik bus kota. Swalayan berada di kota Incheon. Sesampai di swalayan, aku segera berganti pakaian seragam yang berada di dalam lokerku.
“Kau sudah pulang sekolah Sang In?”
tanya manajerku.
“Ne sajangnim. Aku akan ganti seragamku dulu”
jawabku. Manajerku hanya menganggukkan kepala seraya tersenyum.
Swalayan ini banyak pengunjung di hari Senin. Ini membuat aku sedikit sibuk melayani pengunjung yang silih berganti. Setiap semangatku mulai sedikit luntur, wajah eomma akan tiba – tiba muncul di pikiranku. Ajaib, seketika itu juga aku langsung kembali bersemangat. Sedangan appaku, aku tak pernah tahu bagaimana sosok ayahku itu, ayahku meninggal di saat aku masih berumur 8 bulan. Entahlah, eommaku juga tak pernah sekalipun menceritakan tentang bagaimana sosok ayahku itu. Eomma akan menceritakan tentang appaku hanya pada saat aku menanyakan padanya. ‘Appa bogoshipo, nado bogoshipo. Walau aku tak pernah melihatmu, aku yakin kau sosok ayah yang baik. Gomawo, aku menyayangi appa. Gomawo, kalian terbaik untukku’ batinku. Wajahku sedikit muram setelah memikirkan appa.
“Yakkk, kenapa kau melamun? Wae?
Ada masalah?” tanya Hyorin, mengagetkanku.
“Kau! Tak bisakah bertanya biasa
saja? Tak perlu mengagetkanku seperti itu” jawabku sambil melotot.
“Mianhnae, jarang sekali kau
kelihatan murung seperti ini. Ada apa? Ceritakan padaku” ujar Hyorin.
“Anio, tak ada masalah apapun.
Hanya saja, tiba – tiba aku merindukan appaku” jawabku lagi, sambil menekuk
wajah.
“Wajar kalau kau merindukannya.
Tapi aku yakin, appamu sudah bahagia disana. Appamu pasti appa yang baik,
karena telah mengirim chingu yang baik sepertimu” jawab Hyorin menenangkan
hatiku.
Aku tersenyum seraya bangkit
dari dudukku. “Kajja, kita kerja lagi. Waktu istirahat sudah habis, aku merasa telah mendapatkan
transferan energi darimu”.
“Ne, aku senang melihatmu
bersemangat lagi. Kajja” balas Hyorin.
Jam kerjaku di swalayan sudah
habis. Saatnya aku beranjak ke tempat kerjaku selanjutnya. Aku melihat jam
tanganku seraya melanjutkan perjalanan. Perjalanan dari swalayan ke cafe hanya
membutuhkan waktu 10 menit. Cafe tempatku bekerja berada di kawasan Incheon
juga, hanya saja sedikit jauh tapi aku masih bisa berjalan kaki.
@Rainbow
Blue Cafe, Incheon, 18.30
KST
Aku berdiri di depan Rainbow
Blue Cafe. Aku masuk ke dalam cafe serta
mengedarkan pandangan ke sekelilingku. Belum banyak pengunjung yang datang,
pantas saja ini masih sore dan mungkin sebentar lagi pasti akan banyak
pengunjung. Aku segera masuk ke ruang ganti dan dalam hitungan detik aku sudah
berganti pakaian. Aku
sudah mengenal beberapa pengunjung disini.
“Annyeong Sang In”
katanya singkat.
“Annyeong Park-ssi. Kau ingin
memesan apa untuk malam ini?” tulisku di notes kecil yang aku bawa dari rumah
seraya tersenyum.
“Aku pesan jjangmyeon dan maesil
cha. Gomawo Sang In-ssi” jawabnya. Aku hanya
menganggukkan kepala seraya pergi dari meja itu.
Selang beberapa menit kemudian,
menu yang dipesan siap diantar dan dengan segera aku mengantarnya. Waktuku
bekerja telah selesai. Cafe sudah ditutup. Aku berganti pakaianku dan bersiap untuk
pulang.
“Sang In-ssi,
kau langsung pulang? Kami ada rencana untuk pergi ke tempat karaoke. Kau ingin
ikut?” kata teman kerjaku.
“Anio, gomawo. Aku ingin segera
pulang. Ibuku sendirian di rumah dan tak ada yang menemani. Aku pamit pulang
dulu. Annyeong” sapaku sambil melambaikan tangan ke arah mereka.
Aku berjalan pulang dengan berjalan kaki. Rumahku berada di Incheon juga. Selama di perjalanan, aku membayangkan bagaimana hidupku tanpa eomma yang selalu ada untukku. Di saat banyak orang tak menerima keberadaanku karena kecacatanku ini eomma dengan tangan hangatnya selalu merangkul dan menguatkanku seakan – akan aku ini sama seperti mereka. Tak terasa aku tiba di depan jalan menuju rumahku. Aku akan tiba di rumah hanya tinggal beberapa blok saja. Aku mengetok pintu rumahku dan menggumam memanggil eommaku dalam hati.
‘tok.. tok.. tok..’ ketokku.
Seakan eomma mengerti akan apa yang diucapkan oleh hatiku, sepersekian detik
eomma sudah membuka pintu dan berada di depanku.
“Annyeong eomma” sapaku pada
eomma. Eomma tersenyum dan membawaku masuk ke rumah.
“Bagaimana harimu hari ini
chagi?” tanya eomma.
Aku hanya menjawab dengan
anggukan. “Bagaimana kerja ibu hari ini?” balasku.
“Gwenchana” jawab eomma singkat.
“Eomma menjawabnya singkat
sekali. Wae? Apa nyonya muda masih secerewet dulu? Kenapa eomma masih betah
bekerja dengan mereka?” tanyaku runtut dengan memasang wajah kesal, tentu
dengan bahasa isyaratku.
“Anio chagi-ya. Ibu baik – baik saja. Walaupun
mereka cerewet tapi setidaknya mereka itu baik kepada eomma. Ibu tak pernah
bekerja merasa senyaman ini. Ini kerja ibu yang paling lama” jawab eommaku
dengan senyum tulusnya.
“Arraseo arraseo. Ibu sudah
makan?” tanyaku lagi.
“Sudah, ibu makan di rumah
nyonya muda. Kau sudah makan?” tanya eomma.
“Sudah, tadi waktu di cafe”
ujarku. Aku berbohong.
Sepintar – pintarnya aku
menyembunyikan kebohonganku pasti ibu tahu. “Kau belum makan kan Sang In?
Jangan bohong, eomma tahu chagi” jawab eomma sambil mengusap rambut panjangku
yang tergerai.
“Kau pasti mengerti aku eomma.
Gwenchana, aku sudah kenyang karena tadi temanku membawakan gimbap” jawabku.
Sepintas aku melihat wajah eomma
dan ada sesuatu yang disembunyikan oleh eomma dariku. Tanpa basa – basi, aku
segera bertanya apa gerangan yang membuat eomma gelisah.
“Eomma, waegurae? Sepertinya ada
sesuatu yang eomma sembunyikan dariku. Ceritakan padaku” kataku pada eomma.
“Oppamu tadi menelepon eomma” jawab eomma, singkat.
‘Mwo?’ teriak batinku yang tentu saja
tak dapat aku ungkapkan. “Apa yang membuatnya menelepon ibu? Kenapa Sang Won
oppa tak meneleponku? Kenapa oppa jarang menelepon kita hanya untuk sekedar
menanyakan kabar kita mungkin atau kalau tidak begitu, oppa memberi tahu
kabarnya? Tak tahukah oppa kalau aku sangat merindukannya” tanyaku buru – buru.
“Tenanglah Sang In,
oppamu memberikan berita baik yang kau pasti juga akan sangat senang
mendengarkannya. Sang Won akan segera lulus kuliah” jawab eomma dengan antusias.
“Kakakmu memberitahu
kalau kuliah akan segera selesai. Namun Sang Won tak bisa langsung pulang
kemari karena kakakmu ingin bekerja disana dahulu. Tapi kakakmu meminta eomma
mengirim biaya untuk mengurus kelulusannya dan katanya dia ingin membuka
bisnis baru disana.
Eomma berinisiatif untuk mengirim semua uang yang kita punya. Bagaimana
menurutmu Sang In? Eotthokae?” tanya eomma padaku yang langsung antusias.
‘Mwo?’ teriakku, entah untuk keberapa
kalinya batinku menjerit. “Apa maksud eomma unuk memberikan semua uang yang
kita punya untuk Sang Won oppa? Apa oppa tak ada uang sedikitpun? Eomma,
berpikirlah realistis. Oppa pasti punya beberapa uang dari hasil kerjanya
sendiri disana” jawabku
kesal.
“Chagi-ya, kapan lagi kita akan
membantu oppamu? Sebentar lagi dia akan bekerja disana dan
mungkin oppamu yang akan mengirim uang kepada kita sehingga kita tak perlu
bekerja terlalu keras, terutama kamu Sang In. Maka
dari itu, ini bantuan kita untuk yang terakhir kalinya. Jebal..” pinta ibuku
dengan wajah memelas.
Aku tak tega bila melihat eomma
seperti itu. Aku langsung mengalah detik itu juga, aku tak bisa membantah
permintaan eomma. “Arraseo, besok kita transfer semua uang kita kepada oppa”
jawabku, malas.
“Andwe, eomma tak percaya dengan
alat elektronik macam sekarang ini. Eomma ingin kau sendiri yang langsung
memberikan pada oppamu. Kau rindu pada oppamu bukan? Lagipula Sang Won akan
diwisuda, tidak ada
yang mendampingi. Setidaknya ada satu keluarga mendampingi dan eomma tidak
mungkin berangkat ke sana, maka dari itu kau yang mengirim langsung ke sana”
jelas eomma panjang lebar.
Pemintaan macam apalagi ini,
satu belum ingin kuturuti, muncul permintaan yang lain. Mana mungkin aku ke
Paris meninggalkan sekolah dan kerjaku, yang terpenting meninggalkan eommaku
sendiri di rumah tak ada yang menemani.
“Shireo” jawabku singkat
dengan menggelengkan kepala.
“Aku tak mau meninggalkan sekolah dan kerjaku dan yang terpenting adalah aku
tak akan pernah meninggalkan ibu sendirian disini. Siapa yang akan menemani
eomma disini?” jelasku.
“Siapa yang bilang kalau kau akan
pergi selamanya dari sisi eomma? Eoh? Eomma baik – baik saja sendiri. Atau
begini saja sementara waktu kau berangkat ke Paris, eomma akan tinggal di rumah
nyonya muda. Eotthokae?” tanya
eommaku.
“Entahlah, aku akan memikirkannya
dulu. Aku masuk ke kamar dulu eomma. Tidurlah eomma, hari sudah malam dan kita
besok beraktivitas kembali. Saranghaeyo eomma”
kataku sambil mencium pipi eommaku dan pergi meninggalkan eomma yang berada di
ruang tengah.
Ponselku berbunyi, aku mencari sumber suara ponselku berasal, aku membuka tasku. ‘Shin Min Hwa’ nama itu tertera di ponselku dalam panggilan. Aku segera mengangkat telepon darinya ini.
“Yoboseo..” kata Min Hwa di
seberang sana.
“Yoboseo, Min Hwa-ya” jawabku
malas. Aku tentu menggunakan jawaban otomatis yang telah aku atur selama aku
memakai ponsel ini.
“Waegurae Sang In?
Sepertinya kau tak bersemangat. Kau ingin tidur?” tanyanya.
“Anio, aku baru saja pulang
kerja. Kau besok ada waktu?” tanyaku pada Min Hwa.
“Kapan?” tanyanya singkat.
“Malam hari, di cafe tempat aku
bekerja. Aku ingin menceritakan sesuatu padamu” jelasku padanya.
“Arraseo, besok aku akan
mengunjungimu ke cafe” jawabnya.
“Gomawo Min Hwa-ya, aku tutup
dulu ya. Aku ingin tidur, rasanya lelah sekali hari ini” pintaku.
“Ne, Hana juga meneleponku
sekarang. Selamat tidur Sang In” kata Min Hwa, tulus.
‘bipp’ aku mematikan telepon
tanpa membalas kata – katanya. Shin
Min Hwa, teman sejak aku berumur 2 tahun. Dia satu – satunya teman yang aku
punya sejak kecil. Sudah sekitar 13 tahun aku berteman dengannya, tak pernah
satu waktupun tak kulewati bersamanya. Walaupun kami sempat berpisah karena
dia harus ikut appa dan eommanya pergi
ke Paris karena urusan pekerjaan yang sedang dikelola oleh kedua orang tuanya.
Namun waktu menyatukan kami kembali, karena Min Hwa lebih memilih sekolah di
Korea yang tentu saja dia bersekolah di sekolah elit. Dia bersekolah di Busan
Science High School. Tapi perbedaan itu tak menyurutkan persahabatan kami. Pada saat kelas 1 SMA,
Min Hwa mempunyai pacar. Yoon
Hana namanya, yang
tentu saja juga bersekolah dimana Min Hwa berada. Min Hwa tinggal bersama
halmeoni dan
harabeojinya, karena orang tuanya lebih memilih menetap di Paris karena
bisnisnya sedang berkembang disana. Itu cerita sekilas tentang Min Hwa.
@Rainbow
Blue Cafe, Incheon, 18.45
KST
Min Hwa sudah duduk di kursi
seberang, aku langsung mendatanginya karena kebetulan cafe masih belum banyak
pengunjung. Dia tersenyum melihat wajahku yang kutekuk sampai seperti
hampir tak terlihat
ini.
“Yakk, Song Sang In
yang aku kenal tak seperti ini. Dia tak pernah menekuk wajahnya sedalam itu”
katanya sembari menunjuk wajahku dan menaikkan wajahku. “Waegurae? Cerita
padaku” tanyanya lagi.
“Sang Won oppa menelepon eomma
kemarin. Dia bilang dia akan lulus kuliah sesegera mungkin” jawabku.
“Mwo? Chukkae. Bukannya kau
malah harus senang karena oppamu akan segera lulus. Kenapa?” jelas Min Hwa sambil
tersenyum menggodaku.
Aku memelototkan mataku. Aku
berteriak dalam
hati ‘Yak, kau namja pabo Shin Min Hwa’. Seakan dia tahu isi hatiku,
dia berkata “Bukan aku yang pabo, tapi kau. Lanjutkan ceritamu”.
“Aku bukan merasa tak senang
dengan kelulusan
kakakku, hanya
saja oppa meminta biaya untuk kelulusannya
dan juga katanya dia butuh uang untuk memulai bisnisnya yang baru. Oppa meminta
kami mengirim
seluruh uang yang kami punya. Hasil
kerja kerasku, juga kerja keras eomma akan diberikan kepadanya? Bukannya aku
tak rela, namun dia kan juga bekerja. Mana bisa dia tidak punya simpanan uang
sama sekali, apalagi dia juga bekerja sudah lumayan lama karena dia kuliah
dibarengi kerja. Dan eomma menyuruh aku mengantarkannya langsung ke Paris
karena eomma tak percaya dengan transaksi melalui ATM” jelasku panjang lebar, sambil menekuk wajahku kembali.
“Oh, jadi itu masalahnya. Sang
In, membantu
saudara yang membutuhkan bantuan tak mengapa bukan? Nanti juga kau dan Dang Shi
ahjumma bisa
mengumpulkan uang lagi untuk biaya kehidupan kalian berdua. Lagipula setelah Sang
Woo hyung lulus,
kau dan ahjumma tak ada kewajiban memberikan bantuan kepada Sang Won hyung.
Kalian bisa bekerja seperti biasanya” ujar Min Hwa. “Kapan kau akan berangkat
ke sana?” tanyanya.
Aku hanya mengangkat bahuku
seakan mengatakan ‘aku tak tahu’.
“Aku juga tak pernah ke luar negeri. Aku tak punya paspor, pasti mengurus
paspor membutuhkan biaya yang tak sedikit dan juga aku tak tahu kehidupan macam
apa yang ada disana” kataku.
“Tenanglah Sang In,
masalah paspor aku akan menguruskannya untukmu. Dan untuk masalah hidup disana,
kau kan pandai berbahasa inggris. Itu saja sudah cukup sebagai bekal hidup
disana. Tentu saja jangan lupa membawa notes kecilmu” kata Min Hwa menenangkan.
Senyum tulusnya memberikan ketenangan tersendiri bagiku. “Gomawo Min Hwa-ya,
kau memang sahabat terbaikku” kataku sambil mengacungkan dua jempolku.
“Bagaimana Hana?” tanyaku untuk mengganti topik pembicaraan.
“Baik” katanya singkat sembari
meminum banana milk, minuman kesukannya.
“Bagaimana mungkin kau bertahan
dengan gadis cerewet macam dia dan juga sangat galak itu?” tanyaku, bergidik
ngeri.
Dia tertawa kencang, “Hahaha yak
Sang In,
dia gadis yang kucintai. Kau berkata seperti itu karena kau belum mengenal
bagaimana Yoon Hana yang sebenarnya. Di balik kecerewetan dan kegalakannya, dia
itu gadis yang baik”.
“Ckk..! Kau berkata seperti itu
karena kau sedang jatuh cinta saja” kataku sambil tersenyum. “Lalu apa yang kau
katakan pada Hana sehingga kau bisa keluar sendiri tanpa dibuntuti olehnya?
Bukankah
dia itu bagaikan bodyguardmu yang selalu ikut kemanapun kau pergi?” lanjutku.
“Yak Song Sang In,
jangan samakan
Hana dengan bodyguard. Aku mengatakan padanya aku bertemu teman lama appaku.
Awalnya dia ingin ikut saja, tapi setelah aku bujuk dan sedikit memberikan
rayuan padanya akhirnya
dia mengerti” katanya sambil tertawa.
“Ckk..! Menggelikan!” gumamku.
“Arraseo, aku akan melanjutkan pekerjaanku lagi. Sepertinya pengunjung sudah
banyak yang berdatangan. Gomawo atas semua bantuanmu dan sudah mendengarkan
ceritaku juga” jelasku pada Min Hwa.
“Gwenchana, aku akan selalu ada
di saat kamu membutuhkan bantuanku. Aku akan menghubungimu lagi setelah paspor
untukmu telah jadi” jelas Min Hwa sambil bangkit dari kursinya bermaksud untuk
meninggalkan cafe ini.
Aku membalasnya dengan anggukan
dan tersenyum padanya. Aku kembali bekerja dengan perasaan yang lebih lega.
Sesampai di rumah, aku melihat ibu sedang meletakkan beberapa kue di piring.
Sepertinya eomma dapat kue – kue itu dari rumah nyonya muda.
“Apa itu eomma?” tanyaku pada
eomma yang sedang sibuk menyiapkan kue – kuenya.
“Ini pemberian nyonya muda,
katanya beliau ingat eomma pada waktu beliau sedang berada di luar negeri dan
membelikan ini untuk eomma” jawab eomma sambil tersenyum.
Tak buruk, bagi seorang majikan
yang peduli terhadap pembantunya. Setidaknya, aku sedikit respon kepada
keluarga majikan eommaku itu. Memang tak semua majikan seperti beliau.
“Min Hwa sudah mengurus paspor
untukku. Setelah itu selesai, dia akan menghubungiku dan aku siap berangkat ke
Paris” kataku pada eomma sambil memakan kue bawaan eomma itu.
“Jeongmal? Kau harus banyak –
banyak berterimakasih
pada Min Hwa. Kalau kau bertemu dengannya, sampaikan ucapan terimakasih eomma
padanya dan sampaikan salam juga pada keluarganya” kata eomma.
Beberapa hari kemudian...
Min Hwa mendatangi sekolahku
pada jam pulang sekolah. Tentu saja dengan Hana, pacarnya yang mengerikan itu.
Belum – belum aku sudah merinding dibuatnya.
“Ini paspormu sudah bisa
digunakan. Dan ini tiket keberangkatan Korea – Paris. Dan karena aku belum tahu
kapan waktu pulangmu, aku tak membelikan tiket pulangnya. Kau bisa membelinya
sendiri” kata Min Hwa sambil menyerahkan paspor dan tiketku.
‘Song Sang In’
nama itu tertera di paspor baruku. Aku tersenyum senang. “Gomawo Min Hwa-ssi.
Kau banyak membantuku. Annyeong Hana” kataku sambil menyapa Hana yang dari tadi
sudah cemberut itu.
“Yakk, Song Sang In.
Bisakah kau sehari saja tak mengganggu pacarku ini? Eoh? Bisa – bisanya kau hanya
mengganggunya saja” gerutu Hana.
Min Hwa hanya tersenyum.
“Mianhnae Hana, aku selalu merepotkan kalian. Jeongmal mianhnae” pintaku
memelas. “Chagi-ya, kita baik – baik saja untuk membantu Sang In”
tambah Min Hwa. “Yakk kau Shin Min Hwa!
Selalu saja membela gadis ini, apa isitimewanya dia? Hah?” tanya Hana semakin
kesal.
Belum sempat Min Hwa menjawab
pertanyaan Hana, aku langsung menyela. “Kau bawa pulang saja dia sekarang,
sebelum aku dimakan hidup – hidup oleh yeojachingumu yang menakutkan itu” bisikku
pelan pada Min Hwa.
Min Hwa menganggukkan tanda
mengerti. “Kau, apa yang bicarakan dengan Min Hwa sambil berbisik – bisik
seperti itu?” bentak Hana sambil menunjuk tepat ke arah wajahku.
“Sudahlah chagi-ya, kita
pulang”. “Sang In, kita pulang dulu” katanya
padaku. “Ne, hati – hati di jalan” jawabku sekenanya.
Mereka sudah meluncur dengan
mobil mewahnya. Omo, malang benar nasibmu Min Hwa mempunyai pacar seperti dia.
Dia benar- benar yeoja yang horor. Bagaimana kau bisa bertahan dengan Yoon
Hana. Tapi sepertinya mereka saling mencintai, setidaknya itu yang membuat aku
lega karena Min Hwa sudah merasa nyaman dengan Hana. Aku segera meluncur ke
tempat kerjaku. Aku akan kerja hari ini sekaligus meminta ijin untuk aku libur
kerja selama beberapa hari ke depan.
Sesampai di rumah, aku melihat eomma menyiapkan barang – barang keperluanku besok untuk berangkat ke Paris. “Eomma, biar aku saja yang memasukkan ke dalam koper” pintaku. “Shireo, biar eomma. Kau pasti lelah pulang kerja begini harus menyiapkan barang bawaanmu. Ini ada beberapa makanan kesukaan Sang Won. Berikan padanya, pasti dia akan sangat menyukainya” kata eomma. “Sang In, tolong kau bujuk kakakmu untuk pulang sejenak ke Korea bersama istrinya. Eomma merindukan kakakmu dan eomma juga ingin tahu bagaimana menantuku” lanjut eomma. Aku hanya tersenyum seraya menganggukkan kepala tanda aku mengerti apa yang diminta eomma.
Keesokan paginya, aku sudah siap untuk terbang ke Paris. Aku membuka pintu dan “Song Sang In..” teriak Min Hwa di depan wajahku. Sontak aku kaget dan sedikit mundur ke belakang. ‘Yakk, namja pabo. Kau gila Min Hwa’ teriak batinku. Dia hanya tertawa lepas, “Annyeonghaseo Dang Shi ahjumma” sapa Min Hwa pada eommaku sambil membungkuk hormat.
“Annyeonghaseo Min Hwa, kau pagi
– pagi sudah ada disini. Lama ahjumma tak berjumpa denganmu” jawab eomma. “Dia
sibuk pacaran eomma” selaku sekenanya. “Wae? Kau cemburu? Jeongmal?” goda Min
Hwa sambil mendekatkan tubuhnya ke arahku. Iishh, dia benar - benar menyebalkan. “Anio ahjumma, aku
berniat mengantar Sang In
ke bandara” jelas Min Hwa. “Kau tak perlu repot – repot mengantar Song Sang In
ke bandara. Ahjumma ingin mengucapkan banyak terimakasih karena kau telah
banyak membantu keluarga kami” kata eomma. “Nan gwenchana ahjumma, mumpung aku
bisa mengantar dia. Kajja kita berangkat, sebelum kau telat masuk pesawat”
jelas Min Hwa.
Aku hanya menganggukkan kepala
dan langsung aku berpamitan ke eommaku. Ingin rasanya aku menangis, tapi aku
tak ingin membuat eomma makin bersedih karena kutinggalkan. Mobil Min Hwa melaju kencang ke
bandara. ‘Sang
Woo oppa, aku datang. Bogoshipo oppa, jeongmal bogoshipo’ gumamku dalam hati.
Sesampai di bandara, aku turun perlahan dari mobil seakan aku ragu untuk melanjutkan perjalananku ke Paris. Namun, wajah eomma sekali lagi terlintas di benakku. Akhirnya aku memutuskan pergi ke Paris.
“Kau yakin aku tak perlu
mengantarmu ke Paris?” tegur Min Hwa. Dia melihatku sedang memikirkan sesuatu.
Aku sedikit terperanjak, kaget
“Ne, gwenchana. Aku bisa berangkat sendiri. Kalau ada kesempatan, pergilah ke
Paris. Kunjungi orang tuamu dan juga aku” balasku sambil tersenyum.
“Ne, arraseo. Hubungi aku
dimanapun kau berada. Hati – hati di jalan. Titip salam dariku untuk Sang Woo
hyung” katanya.
Aku langsung masuk ke dalam bandara dan melakukan check-in. Setidaknya ini awal perjalananku ke luar negeri. Aku tersenyum, aku tak dapat membayangkan bagaimana aku bertemu dengan oppa. Tak lama kemudian, aku terlelap dalam mimpi panjangku. Aku berdoa dalam hati semoga mimpi indahku untuk bertemu oppa akan benar – benar terjadi.
Next
part..
Setibaku di bandara negara
bagian Eropa ini, aku mengendorkan ototku yang terasa pegal. Sembari turun dari
pesawat, aku mulai gelisah. Apa yang harus kulakukan. Aku harus kemana. Aku
semakin bingung, tak pernah aku merasakan hal semacam ini. Berada di tengah
negara yang bukan negaraku dan aku sama sekali tak mengenal negara ini tentu
saja aku dibuat bingung.
Apakah Sang In akan bertemu dengan oppanya? Apa
yang dilakukan Sang In setelah bertemu dengan Sang Woo oppa?
0 komentar:
Posting Komentar